NARASI CITRA PEREMPUAN DALAM CERPEN RACUN UNTUK TUAN†KARYA IKSAKA BANU: KAJIAN FEMINISME POSKOLONIAL

Yacub Fahmilda, Tiaraizza Cempaka Putri

Abstract


Isu perempuan di negara bekas jajahan tidak pernah bisa berhenti didiskusikan. Narasi perempuan sebagai subjek selalu bergeser tergantung pada narator dalam teks-teks yang menarasikannya. Narasi pada teks-teks mengonstruksi identitas perempuan apalagi menjadi media untuk menyuarakan sudut pandangnya terhadap praktik kolonialisme. Tokoh perempuan dalam Racun untuk Tuan†(RUT) dan pengarang sebagai narator yang tidak pernah merasakan penjajahan sekaligus bertemu dengan sosok nyai selama kolonialisme berlangsung dimungkinkan memiliki kesan serta imajinasi yang berbeda. Cerpen RUT terbitan tahun 2010 merupakan hasil generasi pembaca buku sejarah dan pewaris traumatis bangsa jajahan. Hal dilematik tersebut menjadi diskusi utama dalam tulisan ini dengan menganalisis teks RUT sebagai representasi teks yang telah merekonstruksi kisah kolonialisme dan citra perempuan. Berdasar beberapa hal tersebut, tulisan ini bertujuan untuk memahami bagaimana citra perempuan dinarasikan oleh pengarang dalam RUT. Untuk mengurai diskusi tersebut, penelitian ini mengunakan metode deskriptif-analitis. Data pada penelitian ini berupa kutipan-kutipan RUT yang menggambarkan posisi pengarang, tokoh Belanda, dan tokoh nyai. Kumpulan kutipan tersebut dianalisis melalui teori feminisme poskolonial untuk melihat bagaimana pengarang melalui tokoh Belanda menarasikan perempuan dalam cerpen. Hasil penelitian ini diungkapkan bahwa pengarang yang tidak mengalami praktik penjajahan dan bertemu dengan tokoh nyai mampu menyuarakan pandangannya melalui cerpen. Tokoh Belanda dipinjam oleh pengarang sebagai narator untuk mendeskripsikan identintas tokoh nyai. Pengarang memosisikan diri sebagai tokoh Belanda untuk menyuarakan apa yang dimungkinkan para pegawai Belanda alami selama kolonialisme. Dengan demikian, pengarang di negara bekas jajahan mampu merekonstruksi kisah dan citra perempuan selama kolonialisme melalui pembacaan buku sejarah dan perenungan ke bentuk cerpen.


Keywords


feminisme poskolonial; identintas perempuan; wacana kolonialisme.

References


Baay, R. (2010). Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Diterjemahkan Siti Hertini Adiwoso. Jakarta : Komunitas Bambu.

Banu, I. (2014). Semua untuk Hidia. Jakartsa : PT. Gramedia.

Hellwig, T. (2007). Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta :Yayasan Obor Indonesia.

Ilma, A.A. (2016). Representasi Penindasan Ganda dalam Novel Mirah dari Banda Berdasarkan Perspektif Feminisme Poskolonial. Jurnal Poetika, 4(1), 3 11.

Kurniasih, A. dan Indi A. (2009). Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.

Loomba, A. (2016). Kolonialisme/Pascakolonialisme. diterjemahkan Hartono Hadikusumo. Yogyakarta : Pustaka Promethea.

Martono, N. (2011). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Press.

Ratna, N.K. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Said, E. (1986). Orientalisme. Bandung: Pustaka Pelajar.

Susanto, D. (2008). Relasi Sang Ego dan Sang Liyan dalam Tjerita Njai Dasima Soewatoe Koeban Dari Pada Pemboedjok : Kajian Feminis Pascakolonial. Kajian Sastra. 32 (1). 1 16.

Susasnto, D. (2019). Narasi Identintas Subjek Perempuan dalam Gadis Kolot (1939) Karya Soe Lie Piet: Kajian Kritik Sastra Feminis Pascakolonial. Mozaik Humaniora. 19 (2). 160 171.

Stoler, A. (1989). Rethinking Colonial Categories: European Communities and the Boundaries of Rule. Comparative Studies and History, 31(1), 134 161.

Wearing, B. (1998). Leisure and Feminist Theory. London: Sage Publication.


Full Text: PDF

DOI: 10.33751/jsalaka.v3i1.3321

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.